Rabu, 21 Desember 2011

PENEMUAN ARCA DI GUNUNG RAUNG

Berdasarkan bukti-bukti yang telah banyak diketemukan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah lereng gunung Raung Kabupaten Banyuwangi, bisa ditarik kesimpulan bahwa sejak pada jaman dahulu penduduk asli gunung Raung yang disebut Wong Aga (dari kata Arga) yaitu orang-orang yang tinggal di pegunungan adalah orang-orang yang beragama Hindu. Bukti-bukti tersebut banyak ditemukan oleh masyarakat baik ketika sedang mengerjakan sawah dan ladang maupun melalui meditasi oleh orang-orang pelaku spiritual.
Seperti halnya penemuan sebuah Arca / Pratima berikut ini (tinggi Arca 11,5 cm) :
Tampak Depan
Tampak Samping
Tampak Belakang
Arca tersebut ditemukan oleh seorang pelaku spiritual dari umat muslim yang bernama Ta’im yang bertempat tinggal di Wonoasih Dusun Sugihwaras Desa Bumiharjo Kecamatan Glenmore Kabupaten Banyuwangi.

Awal kisah penemuannya adalah sebagai berikut :
Pada waktu itu tepat Purnama Kapat hari Selasa Paing tanggal 11 Oktober 2011 Bapak Ta’im mengajak Mas Kariyono untuk pergi bersama ke Gumuk Ringin yaitu sebuah lokasi di pinggiran hutan Pinus milik Bapak Ta’im guna melakukan Meditasi. Namun Mas Kariyono tidak bisa ikut karena sibuk ada Piodalan di Pura. Akhirnya Bapak Ta’im berangkat sendiri ke Gumuk Ringin tersebut dan melakukan Meditasi. Pada saat tengah Meditasi tiba-tiba Arca tersebut jatuh tepat ditangan kanannya yang tengadah dalam posisi berdoa menurut muslim. Kemudian Bapak Ta’im menerima pawisik bahwa Arca tersebut disuruh menyerahkan pada seseorang yang bertempat tinggal di sebelah timur rumah Bapak Ta’im yang disebutkan juga ciri-ciri orangnya. Karena Arca tersebut yang berhak dan bisa merawat adalah orang tersebut. Arca itu disuruh memberikan pakaian dan suruh memberikan upacara secara Hindu. 
Maka pada pagi harinya Arca tersebut langsung diantarkan dan diserahkan pada orang yang disebutkan dalam pawisik itu yaitu ternyata seseorang yang bernama Mas Kariyono.

Mas Kariyono yang diserahi Arca
Mangku Cahyoadi sedang mengamati Arca



Dengan hati berdebar dhak dhik dhuk dan semua badan gemetar Mas Kariyono menerima Arca itu yang diserahkan oleh Bapak Ta’im secara sukarela sesuai dengan dhawuh pawisik yang diterimanya.
Sejak saat itulah Mas Kariyono merawat dan mengupacarai Arca tersebut setiap hari sampai saat ini. Hal ini semakin menambah semangat sradha dan baktinya Mas Kariyono sebagai orang Hindu tulen yang aktif melaksanakan bakti kehadapan Hyang Widhi. Mudah-mudahan nantinya Mas Kariyono bisa menjadi calon Pemangku yang handal dan diharapkan oleh umat. Semoga***

Ditulis oleh : Tim Pencari Fakta
1Mas Tedjo, S. Ag : Guru Agama Hindu Kementerian Agama Kab. Banyuwangi.
2. Cahyo Adi : Pemangku Dusun Sumberjo, Jambewangi Kec. Sempu.
3Misikan : PHDI Kecamatan Sempu.

Jumat, 26 Agustus 2011

Benda-Benda Peninggalan Sejarah


BENDA-BENDA PENINGGALAN SEJARAH YANG DITEMUKAN DI HUTAN PINUS
DESA JAMBEWANGI KECAMATAN SEMPU KABUPATEN BANYUWANGI


“LINGGA”  DI TENGAH HUTAN PINUS


AREAL SITUS  “SIWA LINGGA”

SUMBER MATA AIR (PETIRTAN) DI DEKAT SITUS “SIWA LINGGA”

SALAH SATU LINGGA YANG DITEMUKAN DI DALAM TANAH

BEBERAPA BENTUK UKIRAN YANG DITEMUKAN SEKITAR 2 METER DI DALAM TANAH


TUMPUKAN BATU PARAS BEKAS BANGUNAN TEMPAT SUCI

Benda-benda peninggalan sejarah Hindu di Gunung Raung


PENEMUAN BENDA-BENDA PENINGGALAN SEJARAH
OLEH WARGA MASYARAKAT
DI DUSUN WONOASIH DESA BUMIHARJO KEC. GLENMOR – BANYUWANGI
DITEMUKAN PADA HARI SENIN UMANIS, 15 SEPT 2008 DAN HARI JUMAT PAING, 26 SEPT 2008
DI FOTO HARI SENIN PAING, 6 OKTOBER 2008

 
 
























Areal Penemuan Patung Perunggu (tanda panah)

Lobang galian tempat ditemukan Patung Perunggu
Dengan kedalaman + 7 m  dari permukaan tanah


Sebuah Gumuk (Gundukan Batu) yang ditumbuhi pohon Beringin di Puncaknya.
Tempat tersebut sangat angker, karena konon ceriteranya di tempat tersebut sering terdengar suara Gamelan, tempat penyimpanan pusaka dan benda-benda kuno lainnya yang masih gaib.


Situs Siwa Lingga di Gunung Raung

Menelusuri jejak-jejak peninggalan Hindu di Lereng Gunung Raung


SEJARAH SINGKAT PERJALANAN RSI MARKANDEYA
Masa sejarah Bali dapat dilihat kembali berawal dari abad ke 8 Masehi, pada saat Rsi Markandeya menginjakkan kakinya di Pulau Bali ini.
Rsi Markandeya adalah seorang Pendeta Hindu Siwa Tattwa yang merupakana aliran yang diyakini oleh mayoritas masyarakat India pada saat itu terutama ditempat asal beliau yaitu India Selatan. Dalam catatan perjalanannya (Lontar Markandeya Purana), dapat diketahui bahwa Rsi Markandeya pertama kali menetap di Gunung Dieng yang termasuk kerajaan Mataram Kuno (Mataram Hindu) Jawa Tengah yang pada saat itu dibawah pemerintahan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu melanjutkan pemerintahan Wangsa Syailendra yang beragama Buddha. Kemungkinan pada saat itu terjadi suatu peristiwa alam yang luar biasa yang memaksa pusat kerajaan Mataram ini dipindahkan kewilayah Jawa Timur sekarang. Ada dugaan kuat pada masa tersebut terjadi letusan gunung berapi yang sekaligus juga menimbun Candi Borobudur dan juga Candi Prambanan.
Rsi Markandeya juga berpindah ke arah Timur mengikuti pergerakan penganut agama Hindu ke arah Jawa Timur, yang kelak membentuk kerajaan Medang Kemulan yang didirikan oleh Mpu Sendok.
Rsi Markandeya meneruskan perjalanannya menuju ke Gunung Rawang yaitu sebuah gunung yang tertinggi yang terletak paling Timur di wilayah Jawa Timur. Dalam perjalanan pertamanya Rsi Markandeya mengalami kegagalan, karena Beliau diganggu oleh Harimau / Macan Putih yang menunggu hutan Gunung Rawang. Dalam perjalanan berikutnya Rsi Markandeya beserta pengikutnya berhasil menaklukkan Harimau / Macan Putih tersebut yang kemudian diikat dengan rantai dan kemudian dipenjarakan di puncak Gunung Rawang. Harimau / Macan Putih tersebut selalu berontak dan meraung-raung yang suaranya menggema menggetarkan bumi sampai terdengar kedesa-desa disekitar Gunung Rawang. Karena kejadian tersebut, maka Rsi Markandeya mengubah nama Gunung Rawang menjadi Gunung Raung. Dan masyarakat sekitar Gunung Rawangpun juga menyebut Gunung tersebut adalah Gunung Raung, karena adanya suara Harimau / Macan Putih yang meraung-raung.
Pada saat bermukim di Gunung Rawang yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung, Rsi Markandeya beserta pengikutnya mendirikan tempat suci untuk memuja Siwa (Tuhan dalam Siwa Tattwa).
Setelah beberapa saat bermukim di Gunung Rawang yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung, Rsi Markandeya kemudian tertarik untuk melanjutkan perjalannya ke Timur. Pada masa itu Pulau Bali belum dikenal sesuai namanya sekarang. Pulau ini masih belum banyak diketahui, sebagian pelaut mengira Pulau Bali merupakan sebuah Pulau yang memanjang yang menyatu dengan apa yang kita kenal sekarang sebagai kepulauan Nusa Tenggara. Jadi pada masa itu Pulau Bali dan kepulauan Nusa Tenggara dianggap merupakan sebuah pulau yang sangat panjang yang disebut dalam Lontar Markandeya Purana sebagai Nusa Dawa (Pulau Panjang). Pada saat kedatangannya yang pertama dengan pengikutnya sekitar 400 orang mnyeberangi Segara Rupek (Selat Bali). Rsi Markandeya setelah tiba di Pulau Bali,  misi mereka mengalami kegagalan, dimana sebagian besar pengikutnya mengalami kematian ataupun sakit secara misterius yang kemudian menjadi wong samar. Beliau merasakan aura misterius yang sangat kuat menguasai Pulau ini, sehingga Beliau kemudian memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung bersama pengikutnya yang masih tersisa dan bermeditasi (Puja Wali) untuk meminta petunjuk kepada Tuhan (Siwa) agar bisa selamat dalam perjalanannya ke Pulau Bali berikutnya.
Dalam kunjungannya yang kedua, berdasarkan hasil dari meditasinya, Rsi Markandeya beserta pengikutnya sekitar 2.000 orang sepakat untuk pertama-tama melakukan upacara suci / Pecaruan untuk keselamatan mereka selama berada di Bali. Belaiau memutuskan untuk mengadakan upacara suci tersebut ditempat yang tertinggi di Pulau ini sebagai tempat yang paling keramat. Mereka kemudian mendaki Gunung Toh Langkir yang sekarang disebut Gunung Agung. Di kaki Gunung itu mereka mengadakan upacara suci yang aktifitasnya berupa penanaman Panca Datu yaitu lima unsur logam yang dianggab paling penting pada masa itu yaitu Emas, Perak, Perunggu, Tembaga dan Besi. Pada saat di ketinggian Toh Langkir tersebut, Rsi Markandeya menyadari bahwa Pulau Bali hanyalah sebuah Pulau kecil sehingga Beliau menganggab bahwa nama Pulau Panjang kurang tepat dan menggantinya dengan nama Pulau Bali. Kata Bali sendiri berasal dari bahasa Pallawa yang berkembang di India Selatan. Kata Bali kurang lebih berarti persembahan, mengingat untuk mendapatkan keselamatan Rsi Markandeya harus menghaturkan persembahyangan / upacara suci terlebih dahulu, yang dalam perkermbangan selanjutnya kata Bali kurang lebih sama artinya dengan Banten pada masa sekarang ini. Dalam perkembangan selanjutnya Rsi Markandeya memutuskan untuk menetap di Bali dan menyebarkan agama Hindu. Beliau dan pengikutnya kemudian membuka hutan Taro dan bermukim ditempat yang dikenal sebagai desa Taro yang dianggap sebagai desa tertua di Bali. Di desa tersebut Beliau mendirikan tempat suci yang disebut Pura Murwa Bumi (Permulaan di Bumi Bali) sebagai pura pertama di Bali. Selanjutnya Beliau mengembangkan daerah Toh Langkir menjadi areal Pura (Tempat Suci) yang dianggap sebagai Pura Utama di Bali. Pura lainnya yang erat kaitannya dengan Rsi Markandeya adalah Pura Silawanayangsari di Gunung Lampuyang. Beliau juga mendirikan Asrama di Pura Lempuyang tersebut dan disini Beliau dikenal sebagai Bhatara Gnijaya Sakti.
Pada saat sekarang ini dimana masyarakat Bali ingin menelusuri silsilah keluarga mereka, menemukan kawitan mereka (Bhatara Gnijaya) dalam hal ini Rsi Markandeya, dianggab merupakan leluhur dari Klan / Warga Pasek dan menganggap bahwa Pura Lempuyang Madya merupakan kawitan utama dari Warga Pasek.
Dari tinjauan sejarah tidak banyak diketahui tentang peninggalan tertulis dari Rsi Markandeya selain dari pada Lontar Markandeya Purana tersebut dan Pura-Pura peninggalan Beliau. Konon menurut beberapa sumber yang dapat dipercaya bahwa setelah berhasil mengembangkan agama Hindu di Bali, Rsi Markandeya kembali ke Gunung Raung untuk melanjutkan tapanya sampai Beliau mencapai Moksa ditempat tersebut.

Ditulis kembali Oleh : Mas Tedjo, S. Ag - Banyuwangi.

Kamis, 25 Agustus 2011

Situs Siwa Lingga Gumuk Payung

SERPIHAN KISAH PENEMUAN SITUS SIWA LINGGA
DI LERENG GUNUNG RAUNG
RPH. SIDOMULYO DESA JAMBEWANGI KECAMATAN SEMPU – BANYUWANGI



Kisah ini kami tulis berdasarkan penuturan dari salah seorang nara sumber yang berhasil kami wawancarai yaitu pertama dari Pak Agus yang tinggal di Pemukiman hutan Tlocor Dusun Sidomulyo Desa Jambewangi Kecamatan Sempu – Kab. Banyuwangi.

Menurut penuturan dari Pak Agus antara lain mengisahkan sebagai berikut :
“Waktu itu sekitar tahun seribu sembilan ratus delapan puluhan, ketika Pak Agus dan kawan-kawannya membuka hutan Pinus yang pertama kali. Sebelum ditanami pohon Pinus, hutan tersebut adalah hutan belantara yang banyak ditumbuhi pohon bambu. Pada saat Pak Agus menebang pohon Pinus, begitu pohon yang ditebang itu roboh, rantingnya menimpa benda aneh yang belum pernah dilihat oleh Pak Agus. Setelah didekati dan diamati ternyata benda itu adalah sebuah Patung batu yang duduk bersila diatas tempat duduk yang terbuat dari batu, kedua tangan bersidakep, rambut disanggul di atas layaknya seorang pendeta. Patung tersebut menghadap ke Timur yang diapit dua buah batu ukiran bersusun-susun disebelah kanan dan kirinya kurang lebih setinggi 70 cm. Seketika itu Pak Agus terkejut dan takut karena dikira tempat itu adalah kuburan kuno ( makam orang pada jaman dahulu ). Karena takut akan terjadi sesuatu terhadap dirinya, maka Pak Agus segera membersihkan tempat itu kemudian memagarinya dengan ranting-ranting pohon Pinus.
Sampai siang hari pikiran Pak Agus tidak bisa tenang, rasa laparpun hilang karena pikirannya was-was dan takut jangan-jangan terjadi sesuatu yang akan menimpa dirinya akibat pohon Pinus yang ditebangnya itu roboh menimpa kuburan tersebut. Saat itu juga dia lansung menceriterakan kejadian itu kepada temannya. Begitu mendengar ceritera dari Pak Agus, temannya jadi penasaran ingin tahu kuburan tersebut. Setelah mencarinya kesana kemari ternyata teman Pak Agus itu tidak menemukan apa-apa. Akhirnya dia kembali lagi pada Pak Agus agar diantar dan ditunjukkan tempat tersebut. Setelah ditunjukkan oleh Pak Agus barulah temannya itu dapat melihat dengan jelas kuburan tersebut, padahal dari tadi dia sudah berputar-putar mencari ditempat itu juga, namun tidak tahu. “Aneh, memang sungguh aneh”. Demikian kata teman Pak Agus.
Selang beberapa hari kemudian datanglah seseorang yang bernama Hama dari Dusun Gunungsari Kecamatan Glenmore. Katanya dia pernah mendengar berita bahwa ada penemuan kuburan yua ditengah hutan Pinus. Untuk itu dia datang menemui Pak Agus agar diantar dan ditunjukkan ketempat kuburan dimaksut. Pada hari itu juga oleh Pak Agus orang tersebut diantar dan ditunjukkan ke tempat itu. 
Pada malam harinya waktu Pak Agus sedang berburu binatang, tiba-tiba melihat cahaya terang ditempat itu. Karena penasaran ingin tahu, akhirnya Pak Agus mendekati tempat tersebut. Setelah sampai disitu ternyata Hama dan kawan-kawannya sudah menggali dan membongkar kuburan tersebut. Melihat kejadian ini Pak Agus tidak jadi berburu binatang, melainkan menunggui Hama dan kawan-kawannya yang sedang menggali tempat tesebut. Pada saat penggalian, patung tersebut dipindahkan oleh Hama, kemudian di bawahnya digali sampai kedalaman kurang lebih 2 meter. Saat itu Pak Agus melihat tatanan batu paras yang tersusun rapi seperti tembok. Namun akhirnya dibongkar oleh Hama dan kawan-kawannya dan dinaikkan ke atas sehingga banyak batu parasnya yang rusak dan patah. Sambil menunggui Hama dan kawan-kawannya membongkar tempat tersebut, Pak Agus selalu memperhatikan dan memandangi Patung itu. Ada perasaan aneh dan sepertinya ada kekuatan gaib pada patung itu. Patung itu terbuat dari batu yang keras dan bersinar gemerlapan ketika tertimpa cahaya lampu petromak. Pak Agus tidak henti-hentinya memandangi Patung itu. Cahaya gemerlapan itu seperti hidup dan bergerak naik turun. Sungguh-sungguh menyenangkan dan memikat perasaan. Pak Agus benar-benar merasa sangat senang dengan patung itu. Tapi Pak Agus takut untuk mengambilnya.
Selanjutnya dalam penggalian itu Hama dan kawan-kawannya menemukan 2 buah emas batangan sebesar korek api gas. Dari situlah Pak Agus baru tahu bahwa Hama itu adalah pencari barang antik atau pencari harta karun. Setelah pagi hari penggalian itu baru dihentikan. Selanjutnya Pak Agus menyuruh Hama dan kawan-kawannya agar mengembalikan batu-batu paras yang dibongkar itu. Dan pada saat itu batu-batu paras tersebut hanya dilempar-lemparkan begitu saja kedalam lubang galian tersebut tanpa ditimbun kembali. Kemudian Hama memegang Patung itu lalu mengocak-ngocaknya.
Patung tersebut didalamnya seperti berlobang dan berisi sesuatu. " Waduh ! di dalam ini berisi apa ya ? " Demikian kata Hama. Namun oleh Pak Agus dilarang agar Patung itu tidak dibawa pulang oleh Hama. Sebelum Hama dan kawan-kawannya itu pulang, Pak Agus diberi uang oleh Hama. Namun Pak Agus tidak mau menerima dan bahkan menolaknya karena Pak Agus takut jangan-jangan menerima akibat yang tidak baik dikemudian hari. Setelah Hama dan kawan-kawannya pulang, Patung itu oleh Pak Agus disandarkan di bawah pohon pisang.
Selang beberapa hari kemudian waktu Pak Agus ketempat itu ternyata Patung tersebut sudah tidak ada ditempat. Apakah diambil kembali oleh Hama ataukah diarnbil oleh orang lain, ataukah memang hilang kemana ? Pak Agus pun tidak tahu dan sampai sekarang Patung itupun tidak karuan dimana keberadaannya.
Hari berikutnya datang lagi pencari harta karun dari Sempolan Jember yang menggali tempat itu pada malam harinya. Demikian seterusnya semakin hari semakin banyak orang yang datang dan menggali diareal tempat tersebut sehingga keadaannya semakin tambah hancur dan berantakan.
Beberapa tahun kemudian setelah hutan Pinus itu ditutup kembali, ternyata Pak Agus melihat Patung itu lagi. Sedangkan pencari harta karunpun masih selalu saja datang silih berganti. Tetangga Pak Agus pun juga banyak yang membawa pulang batu-batu paras untuk dibuat tungku untuk memasak. Demikian pula teman-teman Pak Agus juga pernah membawa pulang 2 buah batu ukiran bersusun-susun untuk dibuat mainan karena bentuknya yang aneh dan indah. Sampai salah satunya ada yang patah ujungnya. Yang sampai kini patahan ujung batu ukiran itupun masih dan disimpan di rumah Pak Agus.
Sampai pada suatu hari datanglah rombongan dari Bali yang diantar oleh Pak Agus ketempat itu. Salah satunya adalah seorang Pemangku. Namun dari Bali daerah mana, Pak Agus pun tidak tahu. Rombongan tersebut mengadakan persembahyangan bersama ditempat itu.
Sejak saat itulah Pak Agus tahu dan percaya bahwa tempat itu bukanlah kuburan seperti dugaan Pak Agus selama itu, melainkan tempat itu adalah tempat sucinya orang Hindu atau Pura.
Sejak kedatangan rombongan dari Bali itulah Pak Agus langsung memberitahukan kepada teman-temannya bahwa batu-batu paras yang dibawa pulang itu adalah bukan miliknya melainkan milik tempat sucinya orang Hindu. Karena takut, seketika itu teman temannya langsung membongkar tungku-tungkunya yang terbuat dari batu-batu paras itu dan menaruhnya di belakang rumah. Sedangkan 2 buah batu ukiran bersusun-susun yang tadinya sering untuk mainan anak-anak itu langsung dibuang ke sungai di belakang rumah.
Waktu kedatangan rombongan dari Bali itu Patung tersebut sudah tidak ada. Seandainya Pak Agus Tahu kalau tempat itu adalah tempat suci, sudah barang tentu Patung itu akan disimpan oleh Pak Agus dan mungkin sampai sekarang Patung itu masih ada.
Tapi apa boleh buat karena pada waktu itu tidak ada orang yang peduli, maka tempat itu kini benar-benar menjadi hancur berantakan karena diacak-acak orang dan Patung itupun hilang tidak tahu kemana rimbanya". Demikian ceritera yang disampaikan oleh Pak Agus yang berhasil kami kumpulkan.
Untuk Kisah Penemuan yang ke dua oleh Mas Heri dari Dsn. Sidomulyo akan saya sampaikan pada kisah selanjutnya
Bukti Peninggalan Sejarah yang ditemukan di lokasi tersebut



.
Ditulis Oleh :
MAS TEDJO, S. Ag
Banyuwangi  Jawa Timur