NAPAK TILAS JEJAK-JEJAK RSI MARKANDEYA
DI GUNUNG RAUNG R.P.H. SIDOMULYO
DESA JAMBEWANGI KECAMATAN SEMPU KABUPATEN BANYUWANGI
DI GUNUNG RAUNG R.P.H. SIDOMULYO
DESA JAMBEWANGI KECAMATAN SEMPU KABUPATEN BANYUWANGI
OLEH : TIM PENCARI FAKTA
Ditulis kembali oleh : Mas Tedjo, S. Ag
Tanggal, 01 Januari 2012
Kata Pengantar
Om Swastyastu.
Om Awighnam astu namo sidham.
Om Ano badrah keatavo yantu visvatah.
Ya Tuhan, semoga ada dalam keadaan baik, semoga tidak ada aral melintang, semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru.
Sebagai bentuk rasa kepedulian kami terhadap jejak-jejak peninggalan sejarah yang patut kita lestarikan, maka kami berusaha untuk mengumpulkan keteranngan-keterangan dari beberapa orang penduduk yanng kiranya dapat kami jadikan sebagai sumber bahan untuk mengumpulkan bukti-bukti sejarah. Disamping itu kamipun juga turun ke lapangan untuk mencari, menelusuri serta membuktikan jejak-jejak peninggalan sejarah sesuai dengan keterangan-keterangan yang kami peroleh dari beberapa orang penduduk tersebut. Kami tidak sebatas percaya begitu saja dari keterangan-keterangan beberapa orang penduduk yang berhasil kami himpun. Kami perlu bukti yang otentik atas keterangan-keterangan itu. Dari situlah nantinya kita baru bisa percaya bahwa keterangan-keterangan penduduk itu benar-benar ada dan dapat dibuktikan.
Berangkat dari situlah kami mencoba untuk mengumpulkan keterangan-keterangan dari beberapa orang penduduk yang dapat kami himpun dan bukti-bukti keterangan tersebut telah kami telusuri dilapangan.
Tulisan ini sengaja kami persembahkan kepada para pembaca dengan harapan agar kiranya para pembaca dapat terketuk hatinya sehingga timbul rasa kepeduliannya untuk ikut berpartisipasi dan berperan aktif terhadap pelestarian budaya dan jejak-jejak sejarah warisan leluhur yang patut kita lestarikan. Kami sangat menharap atas keikhlasan hati para pembaca untuk menyumbangkan tenaga, pikiran maupun sebagaian materinya demi untuk pelestarian budaya dan peninggalan sejarah tersebut. Semoga sumbangsih dari para pembaca dan para dermawan senantiasa mendapatkan balasan limpahan anugerah yang berlipat ganda dari Hyang Widhi Tuhan Yang Maha Esa.
Om Santi santi santi Om.
Om Awighnam astu namo sidham.
Om Ano badrah keatavo yantu visvatah.
Ya Tuhan, semoga ada dalam keadaan baik, semoga tidak ada aral melintang, semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru.
Sebagai bentuk rasa kepedulian kami terhadap jejak-jejak peninggalan sejarah yang patut kita lestarikan, maka kami berusaha untuk mengumpulkan keteranngan-keterangan dari beberapa orang penduduk yanng kiranya dapat kami jadikan sebagai sumber bahan untuk mengumpulkan bukti-bukti sejarah. Disamping itu kamipun juga turun ke lapangan untuk mencari, menelusuri serta membuktikan jejak-jejak peninggalan sejarah sesuai dengan keterangan-keterangan yang kami peroleh dari beberapa orang penduduk tersebut. Kami tidak sebatas percaya begitu saja dari keterangan-keterangan beberapa orang penduduk yang berhasil kami himpun. Kami perlu bukti yang otentik atas keterangan-keterangan itu. Dari situlah nantinya kita baru bisa percaya bahwa keterangan-keterangan penduduk itu benar-benar ada dan dapat dibuktikan.
Berangkat dari situlah kami mencoba untuk mengumpulkan keterangan-keterangan dari beberapa orang penduduk yang dapat kami himpun dan bukti-bukti keterangan tersebut telah kami telusuri dilapangan.
Tulisan ini sengaja kami persembahkan kepada para pembaca dengan harapan agar kiranya para pembaca dapat terketuk hatinya sehingga timbul rasa kepeduliannya untuk ikut berpartisipasi dan berperan aktif terhadap pelestarian budaya dan jejak-jejak sejarah warisan leluhur yang patut kita lestarikan. Kami sangat menharap atas keikhlasan hati para pembaca untuk menyumbangkan tenaga, pikiran maupun sebagaian materinya demi untuk pelestarian budaya dan peninggalan sejarah tersebut. Semoga sumbangsih dari para pembaca dan para dermawan senantiasa mendapatkan balasan limpahan anugerah yang berlipat ganda dari Hyang Widhi Tuhan Yang Maha Esa.
Om Santi santi santi Om.
Sempu, 16 Oktober 2007
Tim Pencari Fakta
Koordinator
Tim Pencari Fakta
Koordinator
ttd
Drs. SUTRISNO
LINGGA DI TENGAH HUTAN PINUS
RIWAYATMU KINI
NAPAK TILAS JEJAK-JEJAK PENINGGALAN RSI MARKANDEYA
DI LERENG GUNUNG RAUNG R.P.H. SIDOMULYO
DESA JAMBEWANGI KECAMATAN SEMPU KABUPATEN BANYUWANGI
DI LERENG GUNUNG RAUNG R.P.H. SIDOMULYO
DESA JAMBEWANGI KECAMATAN SEMPU KABUPATEN BANYUWANGI
Om Swastyastu.
Om Awighnam astu namo sidham.
Semoga selalu dalam keadaan baik dan semoga tidak ada aral melintang atas karunia Hyang Widhi Tuhan Yang Maha Esa.
Berawal dari ceritera penemuan sebuah Patung oleh Pak Agus pada waktu menebang hutan Pinus sekitar tahun seribu sembilan ratus delapan puluhan yang disampaikan kepada kami pada hari Sabtu Wage tanggal 29 September 2007, maka kami segera menindak lanjuti dan membentuk Tim Pencari Fakta Sejarah ( TPFS ) yang terdiri dari 5 orang yaitu :
1. Drs. Sutrisno : Koordinator
2. Mas Tedjo, S. Ag : Editor
3. Misikan : Pemandu ( Penunjuk Jalan )
4. Rujianto : Dokumentasi
5. Hadi Supoyo : Anggota
Hari itu Sabtu Umanis tanggal 6 Oktober 2007, rombongan Tim Pencari Fakta Sejarah mulai bekerja sesuai dengan tugas yang telah disepakati. Perjalanan dimulai dari Dusun Sidomulyo Desa Jambewangi Kecamatan Sempu Kabupaten Banyuwangi.
Melalui jalan setapak rombongan kami berjalan kaki menelusuri lebatnya hutan Pinus, menyibak semak-semak hutan pakis, menuruni lembah, menyeberangi sungai dan mendaki bukit menuju ke-salah satu pemukiman penduduk di hutan Tlocor dengan maksud untuk menemui salah seorang penduduk yang bernama Pak Agus. Karena menurut keterangan dari dia yang sempat disampaikan kepada kami pada hari Sabtu Wage tanggal 29 September 2007, dialah yang mula-mula menemukan sebuah Patung dari batu dan dua buah batu ukiran bersusun-susun. Kedua buah batu ukiran tersebut pernah dibawa pulang ke Tlocor oleh teman-teman Pak Agus yang kemudian dibuang ke sungai di belakang rumah sekitar sepuluh tahun silam.
Setelah kami sampai di pemukiman penduduk di hutan Tlocor, ternyata Pak Agus tidak ada di rumah. Dia sedang bekerja memungut getah Pinus hasil sadapannya. Sambil menunggu kedatangan Pak Agus, kami sepakat untuk mencari sendiri batu ukiran bersusun-susun yang dimaksudkan oleh Pak Agus yang dibuang di sungai belakang rumah. Adapun patahan ujung batu ukiran tersebut kami temukan di belakang rumah dan kini sudah disimpan di rumah Pak Agus.
Om Awighnam astu namo sidham.
Semoga selalu dalam keadaan baik dan semoga tidak ada aral melintang atas karunia Hyang Widhi Tuhan Yang Maha Esa.
Berawal dari ceritera penemuan sebuah Patung oleh Pak Agus pada waktu menebang hutan Pinus sekitar tahun seribu sembilan ratus delapan puluhan yang disampaikan kepada kami pada hari Sabtu Wage tanggal 29 September 2007, maka kami segera menindak lanjuti dan membentuk Tim Pencari Fakta Sejarah ( TPFS ) yang terdiri dari 5 orang yaitu :
1. Drs. Sutrisno : Koordinator
2. Mas Tedjo, S. Ag : Editor
3. Misikan : Pemandu ( Penunjuk Jalan )
4. Rujianto : Dokumentasi
5. Hadi Supoyo : Anggota
Hari itu Sabtu Umanis tanggal 6 Oktober 2007, rombongan Tim Pencari Fakta Sejarah mulai bekerja sesuai dengan tugas yang telah disepakati. Perjalanan dimulai dari Dusun Sidomulyo Desa Jambewangi Kecamatan Sempu Kabupaten Banyuwangi.
Melalui jalan setapak rombongan kami berjalan kaki menelusuri lebatnya hutan Pinus, menyibak semak-semak hutan pakis, menuruni lembah, menyeberangi sungai dan mendaki bukit menuju ke-salah satu pemukiman penduduk di hutan Tlocor dengan maksud untuk menemui salah seorang penduduk yang bernama Pak Agus. Karena menurut keterangan dari dia yang sempat disampaikan kepada kami pada hari Sabtu Wage tanggal 29 September 2007, dialah yang mula-mula menemukan sebuah Patung dari batu dan dua buah batu ukiran bersusun-susun. Kedua buah batu ukiran tersebut pernah dibawa pulang ke Tlocor oleh teman-teman Pak Agus yang kemudian dibuang ke sungai di belakang rumah sekitar sepuluh tahun silam.
Setelah kami sampai di pemukiman penduduk di hutan Tlocor, ternyata Pak Agus tidak ada di rumah. Dia sedang bekerja memungut getah Pinus hasil sadapannya. Sambil menunggu kedatangan Pak Agus, kami sepakat untuk mencari sendiri batu ukiran bersusun-susun yang dimaksudkan oleh Pak Agus yang dibuang di sungai belakang rumah. Adapun patahan ujung batu ukiran tersebut kami temukan di belakang rumah dan kini sudah disimpan di rumah Pak Agus.
Inilah patahan ujung batu ukiran tersebut
Difoto hari Sabtu, 6 Oktober 2007
Difoto hari Sabtu, 6 Oktober 2007
Selanjutnya kami turun ke sungai di belakang rumah yang disebutkan Pak Agus, merabas semak-semak dan pepohonan kecil lainnya, mengorek-ngorek tanah, menelusuri sungai dengan dibantu oleh salah seorang warga yang bernama Atam. Setelah beberapa lama kami bekerja, ternyata dua buah batu ukiran tersebut tidak berhasil kami temukan . Karena lelah maka kami sepakat untuk istirahat sejenak sambil menunggu kedatangan Pak Agus.
Saat itu salah seorang ibu menuturkan bahwa disebelah Utara di tengah hutan Pinus ada sebuah Watu Lumpang ( Batu berbentuk Lumpang / Lesung untuk menumbuk padi ) yang konon ceriteranya pernah dibawa pulang oleh salah seorang penduduk, namun pada keesokan harinya Watu Lumpang itu sudah kembali lagi ketempatnya semula. Sejak kejadian itulah maka penduduk setempat merasa takut dan tidak berani lagi mengganggu Watu Lumpang itu.
Karena kami merasa penasaran dan ingin tahu keberadaan Watu Lumpang tersebut, maka kami sepakat untuk mencarinya. Akhirnya kami sepakat melanjutkan perjalanan melewati jalan setapak menelusuri hutan Pinus menyibak semak-semak yang banyak ditumbuhi pohon berbisa yaitu Kemado, Ingas, Lateng dan lainnya, menuruni lembah, menyeberangi sungai, mendaki bukit sambil bertanya pada setiap orang yang kami temui untuk menunjukkan dimana Watu Lumpang itu berada. Sampai pada akhirnya kami bertemu dengan salah seorang penyadap getah Pinus bersama istrinya di tengah hutan. Kami menyampaikan maksud kedatangan rombongan kami yaitu untuk mencari Watu Lumpang. Kami diantar dan ditunjukkan dimana Watu Lumpang itu berada. Ternyata Watu Lumpang itu benar-benar masih ada, namun tanahnya bekas digali-gali oleh orang pencari harta karun. Kami membersihkan tempat tersebut kemudian mengambil gambar dan mengukurnya.
Saat itu salah seorang ibu menuturkan bahwa disebelah Utara di tengah hutan Pinus ada sebuah Watu Lumpang ( Batu berbentuk Lumpang / Lesung untuk menumbuk padi ) yang konon ceriteranya pernah dibawa pulang oleh salah seorang penduduk, namun pada keesokan harinya Watu Lumpang itu sudah kembali lagi ketempatnya semula. Sejak kejadian itulah maka penduduk setempat merasa takut dan tidak berani lagi mengganggu Watu Lumpang itu.
Karena kami merasa penasaran dan ingin tahu keberadaan Watu Lumpang tersebut, maka kami sepakat untuk mencarinya. Akhirnya kami sepakat melanjutkan perjalanan melewati jalan setapak menelusuri hutan Pinus menyibak semak-semak yang banyak ditumbuhi pohon berbisa yaitu Kemado, Ingas, Lateng dan lainnya, menuruni lembah, menyeberangi sungai, mendaki bukit sambil bertanya pada setiap orang yang kami temui untuk menunjukkan dimana Watu Lumpang itu berada. Sampai pada akhirnya kami bertemu dengan salah seorang penyadap getah Pinus bersama istrinya di tengah hutan. Kami menyampaikan maksud kedatangan rombongan kami yaitu untuk mencari Watu Lumpang. Kami diantar dan ditunjukkan dimana Watu Lumpang itu berada. Ternyata Watu Lumpang itu benar-benar masih ada, namun tanahnya bekas digali-gali oleh orang pencari harta karun. Kami membersihkan tempat tersebut kemudian mengambil gambar dan mengukurnya.
Watu Lumpang di Tengah Hutan Pinus. Difoto hari Sabtu tgl. 6 Oktober 2007
Setelah istirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan untuk mencari jejak-jejak peninggalan sejarah lainnya. Konon katanya disebelah Timur dari tempat tersebut juga ada Watu Lumpang. Kamipun berjalan menyibak semak belukar menuju ketempat tersebut. Setelah sampai disana kami bertemu dengan salah seorang penyadap getah Pinus dan menanyakan tentang keberadaan Watu Lumpang itu. Ternyata dia tidak tahu tentang Watu Lumpang itu. Bahkan dia menunjukkan Watu Lumpang yang pernah dia lihat yaitu yang berada di halaman pemukiman warga di hutan Lateng. Kamipun sepakat melanjutkan perjalanan menuju ketempat tersebut.
Lebih dari satu jam kami berjalan menelusuri lereng gunung Raung mendaki bukit melalui jalan setapak. Walaupun kaki terasa capek dan lelah, nafas ngos-ngosan dibawah terik sinar matahari, kami tetap bersemangat untuk segera mencapai tempat tersebut. Sekitar Pkl. 11.45 WIB. Rombongan kami tiba di pemukiman penduduk di hutan Lateng dan langsung melihat Watu Lumpang yang tergeletak di halaman rumah. Kami mengamati, mengambil gambar dan mengukurnya.
Lebih dari satu jam kami berjalan menelusuri lereng gunung Raung mendaki bukit melalui jalan setapak. Walaupun kaki terasa capek dan lelah, nafas ngos-ngosan dibawah terik sinar matahari, kami tetap bersemangat untuk segera mencapai tempat tersebut. Sekitar Pkl. 11.45 WIB. Rombongan kami tiba di pemukiman penduduk di hutan Lateng dan langsung melihat Watu Lumpang yang tergeletak di halaman rumah. Kami mengamati, mengambil gambar dan mengukurnya.
Inilah Watu Lumpang yang diambil oleh penduduk dari hutan Buntaran Gunung Raung
Karena capek dan lelah, kami istirahat di rumah Mbah Sabar alias Pak Nasiha. Kami mengorek keterangan tentang hal ikhwal penemuan Watu Lumpang itu.
Menurut penuturan Mbah Sabar dan Mbok Satemi bahwa Watu Lumpang itu dulu ditemukan dihutan Buntaran yang kemudian dibawa pulang dengan cara digotong rame-rame bersama teman-temannya sekitar tahun 1985. Disamping itu Mbah Sabar dan Mbok Satemi berceritera bahwa di hutan Buntaran itu juga pernah ditemukan benda peninggalan berbentuk piring bersusun-susun yang terbuat dari emas. Benda tersebut ditemukan oleh salah seorang penyadap getah Pinus. Ketika itu ada sebuah pohon Pinus yang roboh tercabut bersama akarnya. Disaat orang tersebut sedang mebersihkan akar-akar pohon Pinus itu tiba-tiba menemukan benda tersebut yang bekasnya tertimbun dalam tanah yang kemudian terangkat bersama akar pohon Pinus yangn roboh tersebut.
Selanjutnya benda tersebut dijual ke seseorang yang pada waktu itu dibeli seharga Rp. 15.000 tapi hanya diambil yang Rp. 10.000,- karena merasa kasihan kepada pembelinya yang dianggap terlalu mahal. Kemudian benda tersebut dijual lagi kepada orang lain dan laku Rp. 150.000,- kemudian dijual lagi laku Rp. 500.000,- dan pada akhirnya dijual ke orang Cina dan dibeli seharga Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Demikian ceritera Mbah Sabar dan Mbok Satemi. Lanjut ceritera Mbok Satemi, bahwa di belakang rumahnya setiap malem Jumat Legi sering terlihat sebuah benda yang menyala dan bersinar terang sebesar lampu petromak. Tapi Mbok Satemi tidak tahu itu benda apa, karena Mbok Satemi takut untuk mendekatinya, dan sampai sekarangpun benda itu masih sering menampakkan diri.
Disaat kami sedang istirahat, tiba-tiba Mbah Sabar berkata bahwa dirinya juga mempunyai jimat. Kami sempat bertanya “Jimat apa itu Mbah ?”. Mbah Sabar menjawab : “Pokoknya Jimat ini aneh, karena tidak kelihatan orangnya tapi kelihatan giginya”. Serentak kami terkejut dan tertawa bercampur penasaran karena ingin segera tahu jimat tersebut.
Mbah Sabar lalu masuk kekamarnya untuk mengambil jimat tersebut. Begitu keluar dari kamar Mbah Sabar menunjukkan dua buah jimatnya sambil berkata “Ini lho !. Tidak kelihatan orangnnya tapi kelihatan giginya. Ini kan gigi. Ya ini yang disebut ‘Untune bledek’ (Gigin Kilap = Giginya Petir), demikian kata Mbah Sabar.
Setelah kami amati ternyata benda tersebut adalah benda peninggalan sejarah yaitu berupa kapak yang terbuat dari batu hitam yang sangat keras. Konon katanya benda tersebut ditemukan oleh Mbah Sabar ketika baru saja ada Petir yang menyambar pohon pinus sampai terbelah dari ujung sampai pangkalnya. Sesaat kemudian Mbah Sabar mendekati dan mengamati pohon Pinus yang baru saja disambar petir itu. Tiba – tiba Mbah Sabar melihat benda aneh yang menancap ditanah di bawah pohon pinus tersebut. Setelah diambil ternyata benda tersebut adalah sebuah batu hitam yang halus dan keras menyerupai gigi. Dari situlah Mbah Sabar percaya bahwa benda tersebut adalah giginya Petir yang baru saja menyambar pohon Pinus tersebut. Benda tersebut sampai sekarang masih disimpan oleh Mbah Sabar dan dipercaya sebagai jimat karena bisa dipakai untuk mengobati orang yang digigit binatang berbisa yaitu ular, lipan, kalajengking dan sebagainya, dan sudah banyak orang yang berhasil ditolongnya.
Menurut penuturan Mbah Sabar dan Mbok Satemi bahwa Watu Lumpang itu dulu ditemukan dihutan Buntaran yang kemudian dibawa pulang dengan cara digotong rame-rame bersama teman-temannya sekitar tahun 1985. Disamping itu Mbah Sabar dan Mbok Satemi berceritera bahwa di hutan Buntaran itu juga pernah ditemukan benda peninggalan berbentuk piring bersusun-susun yang terbuat dari emas. Benda tersebut ditemukan oleh salah seorang penyadap getah Pinus. Ketika itu ada sebuah pohon Pinus yang roboh tercabut bersama akarnya. Disaat orang tersebut sedang mebersihkan akar-akar pohon Pinus itu tiba-tiba menemukan benda tersebut yang bekasnya tertimbun dalam tanah yang kemudian terangkat bersama akar pohon Pinus yangn roboh tersebut.
Selanjutnya benda tersebut dijual ke seseorang yang pada waktu itu dibeli seharga Rp. 15.000 tapi hanya diambil yang Rp. 10.000,- karena merasa kasihan kepada pembelinya yang dianggap terlalu mahal. Kemudian benda tersebut dijual lagi kepada orang lain dan laku Rp. 150.000,- kemudian dijual lagi laku Rp. 500.000,- dan pada akhirnya dijual ke orang Cina dan dibeli seharga Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Demikian ceritera Mbah Sabar dan Mbok Satemi. Lanjut ceritera Mbok Satemi, bahwa di belakang rumahnya setiap malem Jumat Legi sering terlihat sebuah benda yang menyala dan bersinar terang sebesar lampu petromak. Tapi Mbok Satemi tidak tahu itu benda apa, karena Mbok Satemi takut untuk mendekatinya, dan sampai sekarangpun benda itu masih sering menampakkan diri.
Disaat kami sedang istirahat, tiba-tiba Mbah Sabar berkata bahwa dirinya juga mempunyai jimat. Kami sempat bertanya “Jimat apa itu Mbah ?”. Mbah Sabar menjawab : “Pokoknya Jimat ini aneh, karena tidak kelihatan orangnya tapi kelihatan giginya”. Serentak kami terkejut dan tertawa bercampur penasaran karena ingin segera tahu jimat tersebut.
Mbah Sabar lalu masuk kekamarnya untuk mengambil jimat tersebut. Begitu keluar dari kamar Mbah Sabar menunjukkan dua buah jimatnya sambil berkata “Ini lho !. Tidak kelihatan orangnnya tapi kelihatan giginya. Ini kan gigi. Ya ini yang disebut ‘Untune bledek’ (Gigin Kilap = Giginya Petir), demikian kata Mbah Sabar.
Setelah kami amati ternyata benda tersebut adalah benda peninggalan sejarah yaitu berupa kapak yang terbuat dari batu hitam yang sangat keras. Konon katanya benda tersebut ditemukan oleh Mbah Sabar ketika baru saja ada Petir yang menyambar pohon pinus sampai terbelah dari ujung sampai pangkalnya. Sesaat kemudian Mbah Sabar mendekati dan mengamati pohon Pinus yang baru saja disambar petir itu. Tiba – tiba Mbah Sabar melihat benda aneh yang menancap ditanah di bawah pohon pinus tersebut. Setelah diambil ternyata benda tersebut adalah sebuah batu hitam yang halus dan keras menyerupai gigi. Dari situlah Mbah Sabar percaya bahwa benda tersebut adalah giginya Petir yang baru saja menyambar pohon Pinus tersebut. Benda tersebut sampai sekarang masih disimpan oleh Mbah Sabar dan dipercaya sebagai jimat karena bisa dipakai untuk mengobati orang yang digigit binatang berbisa yaitu ular, lipan, kalajengking dan sebagainya, dan sudah banyak orang yang berhasil ditolongnya.
Setelah kami mengambil gambar, kami berpamitan kepada Mbah Sabar dengan berpesan agar benda tersebut disimpan baik–baik jangan sampai dijual dan tak lupa kami juga mengucapkan terima kasih atas semua keterangan yang diberikan oleh Mbah Sabar.
Waktu menunjukkan Pkl. 12.25, rombongan kami kembali menuruni bukit untuk mencari jejak-jejak peninggalan yang lain. Menurut penuturan salah seorang penyadap getah Pinus pernah melihat suatu tempat yang banyak ditumbuhi pohon Andong Puring yang dipercaya bahwa tempat itu adalah bekas pemukiman orang pada jaman dahulu. Kami berlima sepakat untuk mencari tempat tersebut. Akhirnya kamipun kembali masuk hutan menyibak semak belukar dan hutan pakis untuk mencari tempat tersebut. Setelah beberapa lama mencari ternyata tempat tersebut tidak dapat kami temukan. Karena capek dan lelah, kami keluar dari hutan dan istirahat dipinggir jalan setapak di bawah pohon yang rindang sambil membuka bekal seadanya yang sempat kami bawa.
Selesai istirahat waktu itu menunjukkan Pkl. 13.15 WIB. Rombongan kami melanjutkan perjalanan kembali menuruni bukit melalui jalan setapak dibawah terik sinar matahari yang menyengat kulit. Kurang lebih satu jam kami menempuh perjalanan yang cukup melelahkan.
Akhirnya kami sampailah di hutan Tlocor pada Pkl. 14.15 WIB. Saat itu Pak Agus yang akan kami temui sedang duduk santai di teras rumahnya. Rupanya Pak Agus baru saja pulang dari kerja memungut getah Pinus. Kami saling menyapa dan berjabat tangan, kemudian istirahat –
bersama di teras rumah Pak Agus. Sambil menikmati teh hangat yang dihidangkan oleh istri Pak Agus, kamipun mulai minta penjelasan tentang hal ikhwal penemuan patung seperti yang disampaikan oleh Pak Agus beberapa hari yang lalu. Pak Agus memulai ceriteranya antara lain demikian :
“Waktu itu sekitar tahun seribu sembilan ratus delapan puluhan, ketika Pak Agus dan kawan-kawannya menebang hutan Pinus yang pertama kali. Sebelum ditanami pohon Pinus, hutan tersebut adalah hutan belantara yang banyak ditumbuhi pohon bambu. Pada saat Pak Agus menebang pohon Pinus, begitu pohon yang ditebang itu roboh, rantingnya menimpa benda aneh yang belum pernah dilihat oleh Pak Agus. Setelah didekati dan diamati ternyata benda itu adalah sebuah Patung batu yang duduk bersila diatas tempat duduk yang terbuat dari batu, kedua tangan bersidakep, rambut disanggul di atas layaknya seorang pendeta. Patung tersebut menghadap ke Timur yang diapit dua buah batu ukiran bersusun-susun disebelah kanan dan kirinya kurang lebih setinggi 70 cm. Seketika itu Pak Agus terkejut dan takut karena dikira tempat itu adalah kuburan kuno ( makam orang pada jaman dahulu ). Karena takut akan terjadi sesuatu terhadap dirinya, maka Pak Agus segera membersihkan tempat itu kemudian memagarinya dengan ranting-ranting pohon Pinus.
Sampai siang hari pikiran Pak Agus tidak bisa tenang, rasa laparpun hilang karena pikirannya was-was dan takut jangan-jangan terjadi sesuatu yang akan menimpa dirinya akibat pohon Pinus yang ditebangnya itu roboh menimpa kuburan tersebut. Saat itu juga dia lansung menceriterakan kejadian itu kepada temannya. Begitu mendengar ceritera dari Pak Agus, temannya jadi penasaran ingin tahu kuburan tersebut. Setelah mencarinya kesana kemari ternyata teman Pak Agus itu tidak menemukan apa-apa. Akhirnya dia kembali lagi pada Pak Agus agar diantar dan ditunjukkan tempat tersebut. Setelah ditunjukkan oleh Pak Agus barulah temannya itu dapat melihat dengan jelas kuburan tersebut, padahal dari tadi dia sudah berputar-putar mencari ditempat itu juga, namun tidak tahu. “Aneh, memang sungguh aneh”. Demikian kata teman Pak Agus.
Selang beberapa hari kemudian datanglah seseorang yang bernama Hama dari Dusun Gunungsari. Katanya dia pernah mendengar berita bahwa ada penemuan kuburan ditengah hutan Pinus. Untuk itu dia datang menemui Pak Agus agar diantar dan ditunjukkan ketempat kuburan dimaksut. Pada hari itu juga oleh Pak Agus orang tersebut diantar dan ditunjukkan ke tempat tersebut.
Pada malam harinya waktu Pak Agus sedang berburu binatang, tiba-tiba melihat cahaya terang ditempat itu. Karena penasaran ingin tahu, akhirnya Pak Agus mendekati tempat tersebut. Setelah sampai disitu ternyata Hama dan kawan-kawannya sudah menggali dan membongkar kuburan tersebut. Melihat kejadian ini Pak Agus tidak jadi berburu binatang, melainkan menunggui Hama dan kawan-kawannya yang sedang menggali tempat tesebut. Pada saat penggalian, patung tersebut dipindahkan oleh Hama, kemudian di bawahnya digali sampai kedalaman kurang lebih 2 meter. Saat itu Pak Agus melihat tatanan batu paras yang tersusun rapi seperti tembok. Namun akhirnya dibongkar oleh Hama dan kawan-kawannya dan dinaikkan ke atas sehingga banyak batu parasnya yang rusak dan patah. Sambil menunggui Hama dan kawan-kawannya membongkar tempat tersebut, Pak Agus selalu memperhatikan dan memandangi Patung itu. Ada perasaan aneh dan sepertinya ada kekuatan gaib pada patung itu. Patung itu terbuat dari batu yang keras dan bersinar gemerlapan ketika tertimpa cahaya lampu petromak. Pak Agus tidak henti-hentinya memandangi Patung itu. Cahaya gemerlapan itu seperti hidup dan bergerak naik turun. Sungguh-sungguh menyenangkan dan memikat perasaan. Pak Agus benar-benar merasa sangat senang dengan patung itu. Tapi Pak Agus takut untuk mengambilnya.
Selanjutnya dalam penggalian itu Hama dan kawan-kawannya menemukan 2 buah emas batangan sebesar korek api gas. Dari situlah Pak Agus baru tahu bahwa Hama itu adalah pencari barang antik atau pencari harta karun. Setelah pagi hari penggalian itu baru dihentikan. Selanjutnya Pak Agus menyuruh Hama dan kawan-kawannya agar mengembalikan batu-batu paras yang dibongkar itu. Dan pada saat itu batu-batu paras tersebut hanya dilempar-lempar begitu saja kedalam lubang galian tersebut tanpa ditimbun kembali. Kemudian Hama memegang Patung itu lalu mengocak-ngocaknya.
Patung tersebut didalamnya seperti berlobang dan berisi sesuatu. " Waduh ! di dalam ini berisi apa ya ? " Demikian kata Hama. Namun oleh Pak Agus dilarang agar Patung itu tidak dibawa pulang oleh Hama. Sebelum Hama dan kawan-kawannya itu pulang, Pak Agus diberi uang oleh Hama. Namun Pak Agus tidak mau menerima dan bahkan menolaknya karena Pak Agus takut jangan-jangan menerima akibat yang tidak baik dikemudian hari. Setelah Hama dan kawan-kawannya pulang, Patung itu oleh Pak Agus disandarkan di bawah pohon pisang.
Selang beberapa hari kemudian waktu Pak Agus ketempat itu ternyata Patung tersebut sudah tidak ada ditempat. Apakah diambil kembali oleh Hama ataukah diarnbil oleh orang lain, ataukah memang hilang kemana ? Pak Agus pun tidak tahu dan sampai sekarang Patung itupun tidak karuan dimana keberadaannya.
Hari berikutnya datang lagi pencari harta karun dari Sempolan Jember yang menggali tempat itu pada malam harinya. Demikian seterusnya semakin hari semakin banyak orang yang datang dan menggali diareal tempat tersebut sehingga keadaannya semakin tambah hancur dan berantakan.
Beberapa tahun kemudian setelah hutan Pinus itu ditutup kembali, ternyata Pak Agus melihat Patung itu lagi. Sedangkan pencari harta karunpun masih selalu saja datang silih berganti. Tetangga Pak Agus pun juga banyak yang membawa pulang batu-batu paras untuk dibuat tungku untuk memasak. Demikian pula teman-teman Pak Agus juga pernah membawa pulang 2 buah batu ukiran bersusun-susun untuk dibuat mainan karena bentuknya yang aneh dan indah. Sampai salah satunya ada yang patah ujungnya. Yang sampai kini patahan ujung batu ukiran itupun masih dan disimpan di rumah Pak Agus.
Sampai pada suatu hari datanglah rombongan dari Bali yang diantar oleh Pak Agus ketempat itu. Salah satunya adalah seorang Pemangku. Namun dari Bali daerah mana, Pak Agus pun tidak tahu. Rombongan tersebut mengadakan persembahyangan bersama ditempat itu.
Sejak saat itulah Pak Agus tahu dan percaya bahwa tempat itu bukanlah kuburan seperti dugaan Pak Agus selama itu, melainkan tempat itu adalah tempat sucinya orang Hindu atau Pura.
Sejak kedatangan rombongan dari Bali itulah Pak Agus langsung memberitahukan kepada teman-temannya bahwa batu-batu paras yang dibawa pulang itu adalah bukan miliknya melainkan milik tempat sucinya orang Hindu. Karena takut, seketika itu teman temannya langsung membongkar tungku-tungkunya yang terbuat dari batu-batu paras itu dan menaruhnya di belakang rumah. Sedangkan 2 buah batu ukiran bersusun-susun yang tadinya sering untuk mainan anak-anak itu langsung dibuang ke sungai di belakang rumah.
Waktu kedatangan rombongan dari Bali itu Patung tersebut sudah tidak ada. Seandainya Pak Agus Tahu kalau tempat itu adalah tempat suci, sudah barang tentu Patung itu akan disimpan oleh Pak Agus dan mungkin sampai sekarang Patung itu masih ada.
Tapi apa boleh buat karena pada waktu itu tidak ada orang yang peduli, maka tempat itu kini benar-benar menjadi hancur berantakan karena diacak-acak orang dan Patung itupun hilang tidak tahu kemana rimbanya". Demikian ceritera yang disampaikan oleh Pak Agus yang berhasil kami kumpulkan.
Waktu terus berjalan bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, tempat tersebut sudah tidak diketahui ceritanya lagi. Hutan pinus semakin lebat menjadi hutan rimba belantara. Pada suatu hari di tahun 1996 seorang pengembala kerbau bernama Mas Heri tiba-tiba menemukan tempat tersebut. Mas Heri sangat terkejut dan terheran-heran, mengapa di tengah hutan belantara ada batu-batu paras berukir namun keadaannya sudah berantakan dan penuh lubang-lubang bekas galian disekitarnya? Lama Mas Heri tertegun keheranan, setelah tersadar kemudian Mas Heri punya inisiatif untuk mengembalikan batu-batu paras tersebut ke lubang bekas galian, dan sebagaian dikumpulkan dan ditata agar tidak tampak berantakan.
Setelah menjelang sore dan waktunya untuk pulang, tiba-tiba kerbaunya Mas Heri sebanyak 6 ekor menghilang entah kemana rimbanya. Mas Heri menjadi kebingungan pikirannya kacau balau karena kerbaunya hilang, kemudian dia mencarinya kesana kemari keluar masuk hutan sampai menjelang malam, namun kerbaunya tidak diketemukan. Apa gara-gara saya mengganggu batu-batu paras tadi sehingga kerbau saya hilang? Demikian Mas Heri berkata-kata sendiri. Kemudian Mas Heri berjanji bila kerbaunya ditemukan kembali dia akan mengirim bunga di tempat tersebut. Dengan perasaan takut, capek, lelah, bingung dan putus asa akhirnya Mas Heri memutuskan untuk pulang kerumahnya dengan resiko sudah tentu akan dimarahi oleh orang tuanya. Setibanya di rumah Mas Heri melaporkan pada orang tuanya bahwa kerbaunya hilang di hutan dan tidak diketemukan. Mendengar laporan itu sontak ibunya Mas Heri memarahinya. Pada malam harinya ibu Mas Heri bermimpi ditemui oleh seorang perempuan, yang meminta dengan paksa pada ibu Mas Heri bahwa anaknya akan dibawa. Dalam mimpi itu ibu Mas Heri melarangnya dan terjadilah cekcok dengan perempuan itu. Saat terbangun, ibu Mas Heri langsung menanyai Mas Heri “Apa yang kamu lakukan di hutan kemarin pada saat mengembala kerbau?”. Mas Heri menceriterakan bahwa dirinya menemukan batu-batu paras yang telah berantakan di suatu tempat yang banyak lubang bekas galian dan mengembalikan batu-batu paras yang berantakan itu kedalam lubang-lubang bekas galian tersebut. Mendengar penjelasan itu akhirnya ibu Mas Heri menyuruhnya untuk lekas pergi ke tempat itu dengan membawa bunga layaknya orang nyekar di makam. Saat itu pula Mas Heri pergi dengan membawa bunga ke tempat batu-batu paras itu ditemukan. Sesampainya di tempat itu mas hari menghaturkan sajen berupa bunga tersebut dan berdoa kepada Tuhan dan penjaga tempat itu guna memohon maaf mungkin ada kesalahan karena mengembalikan batu-batu paras itu kedalam lubang-lubang bekas galian. Selesai berdoa tiba-tiba kerbau Mas Heri yang hilang kemarin ditemukan di tempat itu yang sedang pada tiduran dengan santainya. Mas Heri merasa senang dan bahagia karena kerbaunya dapat ditemukan kembali. Sejak saat itulah Mas Heri selalu merawat tempat itu dan pada hari-hari penting Mas Heri selalu datang membawa sajen dan bunga untuk nyekar di tempat itu. Hari selanjutnya Mas Heri melaporkan hasil penemuannya itu kepada pihak Parisada Hindu Dharma Indonesia Kecamatan Genteng Kabupaten Banyuwangi. Mendapat laporan itu, Pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia Kecamatan Genteng segera bertindak untuk melakukan infestigasi ke tempat yang ditunjukkan oleh Mas Heri. Setelah dilakukan infestigasi ternyata memang benar bahwa di tempat tersebut banyak terdapat batu-batu paras yang berantakan dan berserakan. Setelah diteliti di tempat tersebut ternyata ada sebuah Lingga yang disandarkan di pohon Pinus.
Akhirnya pengurus Parisada menyimpulkan bahwa tempat tersebut adalah merupakan bekas peninggalan tempat suci agama Hindu Siwa. Pengurus Parisada memutuskan untuk mengamankan Lingga tersebut ke Pura terdekat yaitu Pura Sandhya Dharma Dusun Selorejo Kecamatan Genteng. Akhirnya Lingga itu dibawa pulang dan distanakan di Pura itu sampai sekarang.
Kembali pada kisah perjalanan Tim Pencari Fakta.
Waktu menunjukkan Pkl. 15.25 WIB. Kami berpamitan pada Pak Agus dan berpesan agar 2 buah batu ukiran bersusun-susun itu dicari kembali sampai ketemu. Kami melanjutkan perjalanan menuju ke lokasi Petilasan yaitu tempat ditemukannya Patung waktu itu. Kini tempat itu tinggalah bongkahan-bongkahan batu paras yang keadaannya benar-benar sudah hancur berantakan. Kami berlima membersihkan tempat itu karena banyak sampah-sampah berserakan bekas upacara Ritual Siwa Puja pada hari Minggu Kliwon Tgl. 30 September 2007 yang baru lalu. Setelah itu kami berlima sembahyang bersama, kemudian merenung sedih, prihatin dan penuh perasaan menyesal, karena tempat itu kini benar-benar sudah hancur dan tinggalah puing-puing yang tidak berbentuk. Mungkinkah ini sudah menjadi kehendak alam ? Ataukah memang akibat dari kelalaian manusia-manusia yang sudah tidak mau peduli lagi terhadap leluhumya? Lama kami merenung, sampai tidak terasa air mata berlinang membasahi pipi. Oh Hyang Siwa.... semoga kami ditunjukkan ke jalan yang terang.
Waktu menunjukkan Pkl. 12.25, rombongan kami kembali menuruni bukit untuk mencari jejak-jejak peninggalan yang lain. Menurut penuturan salah seorang penyadap getah Pinus pernah melihat suatu tempat yang banyak ditumbuhi pohon Andong Puring yang dipercaya bahwa tempat itu adalah bekas pemukiman orang pada jaman dahulu. Kami berlima sepakat untuk mencari tempat tersebut. Akhirnya kamipun kembali masuk hutan menyibak semak belukar dan hutan pakis untuk mencari tempat tersebut. Setelah beberapa lama mencari ternyata tempat tersebut tidak dapat kami temukan. Karena capek dan lelah, kami keluar dari hutan dan istirahat dipinggir jalan setapak di bawah pohon yang rindang sambil membuka bekal seadanya yang sempat kami bawa.
Selesai istirahat waktu itu menunjukkan Pkl. 13.15 WIB. Rombongan kami melanjutkan perjalanan kembali menuruni bukit melalui jalan setapak dibawah terik sinar matahari yang menyengat kulit. Kurang lebih satu jam kami menempuh perjalanan yang cukup melelahkan.
Akhirnya kami sampailah di hutan Tlocor pada Pkl. 14.15 WIB. Saat itu Pak Agus yang akan kami temui sedang duduk santai di teras rumahnya. Rupanya Pak Agus baru saja pulang dari kerja memungut getah Pinus. Kami saling menyapa dan berjabat tangan, kemudian istirahat –
bersama di teras rumah Pak Agus. Sambil menikmati teh hangat yang dihidangkan oleh istri Pak Agus, kamipun mulai minta penjelasan tentang hal ikhwal penemuan patung seperti yang disampaikan oleh Pak Agus beberapa hari yang lalu. Pak Agus memulai ceriteranya antara lain demikian :
“Waktu itu sekitar tahun seribu sembilan ratus delapan puluhan, ketika Pak Agus dan kawan-kawannya menebang hutan Pinus yang pertama kali. Sebelum ditanami pohon Pinus, hutan tersebut adalah hutan belantara yang banyak ditumbuhi pohon bambu. Pada saat Pak Agus menebang pohon Pinus, begitu pohon yang ditebang itu roboh, rantingnya menimpa benda aneh yang belum pernah dilihat oleh Pak Agus. Setelah didekati dan diamati ternyata benda itu adalah sebuah Patung batu yang duduk bersila diatas tempat duduk yang terbuat dari batu, kedua tangan bersidakep, rambut disanggul di atas layaknya seorang pendeta. Patung tersebut menghadap ke Timur yang diapit dua buah batu ukiran bersusun-susun disebelah kanan dan kirinya kurang lebih setinggi 70 cm. Seketika itu Pak Agus terkejut dan takut karena dikira tempat itu adalah kuburan kuno ( makam orang pada jaman dahulu ). Karena takut akan terjadi sesuatu terhadap dirinya, maka Pak Agus segera membersihkan tempat itu kemudian memagarinya dengan ranting-ranting pohon Pinus.
Sampai siang hari pikiran Pak Agus tidak bisa tenang, rasa laparpun hilang karena pikirannya was-was dan takut jangan-jangan terjadi sesuatu yang akan menimpa dirinya akibat pohon Pinus yang ditebangnya itu roboh menimpa kuburan tersebut. Saat itu juga dia lansung menceriterakan kejadian itu kepada temannya. Begitu mendengar ceritera dari Pak Agus, temannya jadi penasaran ingin tahu kuburan tersebut. Setelah mencarinya kesana kemari ternyata teman Pak Agus itu tidak menemukan apa-apa. Akhirnya dia kembali lagi pada Pak Agus agar diantar dan ditunjukkan tempat tersebut. Setelah ditunjukkan oleh Pak Agus barulah temannya itu dapat melihat dengan jelas kuburan tersebut, padahal dari tadi dia sudah berputar-putar mencari ditempat itu juga, namun tidak tahu. “Aneh, memang sungguh aneh”. Demikian kata teman Pak Agus.
Selang beberapa hari kemudian datanglah seseorang yang bernama Hama dari Dusun Gunungsari. Katanya dia pernah mendengar berita bahwa ada penemuan kuburan ditengah hutan Pinus. Untuk itu dia datang menemui Pak Agus agar diantar dan ditunjukkan ketempat kuburan dimaksut. Pada hari itu juga oleh Pak Agus orang tersebut diantar dan ditunjukkan ke tempat tersebut.
Pada malam harinya waktu Pak Agus sedang berburu binatang, tiba-tiba melihat cahaya terang ditempat itu. Karena penasaran ingin tahu, akhirnya Pak Agus mendekati tempat tersebut. Setelah sampai disitu ternyata Hama dan kawan-kawannya sudah menggali dan membongkar kuburan tersebut. Melihat kejadian ini Pak Agus tidak jadi berburu binatang, melainkan menunggui Hama dan kawan-kawannya yang sedang menggali tempat tesebut. Pada saat penggalian, patung tersebut dipindahkan oleh Hama, kemudian di bawahnya digali sampai kedalaman kurang lebih 2 meter. Saat itu Pak Agus melihat tatanan batu paras yang tersusun rapi seperti tembok. Namun akhirnya dibongkar oleh Hama dan kawan-kawannya dan dinaikkan ke atas sehingga banyak batu parasnya yang rusak dan patah. Sambil menunggui Hama dan kawan-kawannya membongkar tempat tersebut, Pak Agus selalu memperhatikan dan memandangi Patung itu. Ada perasaan aneh dan sepertinya ada kekuatan gaib pada patung itu. Patung itu terbuat dari batu yang keras dan bersinar gemerlapan ketika tertimpa cahaya lampu petromak. Pak Agus tidak henti-hentinya memandangi Patung itu. Cahaya gemerlapan itu seperti hidup dan bergerak naik turun. Sungguh-sungguh menyenangkan dan memikat perasaan. Pak Agus benar-benar merasa sangat senang dengan patung itu. Tapi Pak Agus takut untuk mengambilnya.
Selanjutnya dalam penggalian itu Hama dan kawan-kawannya menemukan 2 buah emas batangan sebesar korek api gas. Dari situlah Pak Agus baru tahu bahwa Hama itu adalah pencari barang antik atau pencari harta karun. Setelah pagi hari penggalian itu baru dihentikan. Selanjutnya Pak Agus menyuruh Hama dan kawan-kawannya agar mengembalikan batu-batu paras yang dibongkar itu. Dan pada saat itu batu-batu paras tersebut hanya dilempar-lempar begitu saja kedalam lubang galian tersebut tanpa ditimbun kembali. Kemudian Hama memegang Patung itu lalu mengocak-ngocaknya.
Patung tersebut didalamnya seperti berlobang dan berisi sesuatu. " Waduh ! di dalam ini berisi apa ya ? " Demikian kata Hama. Namun oleh Pak Agus dilarang agar Patung itu tidak dibawa pulang oleh Hama. Sebelum Hama dan kawan-kawannya itu pulang, Pak Agus diberi uang oleh Hama. Namun Pak Agus tidak mau menerima dan bahkan menolaknya karena Pak Agus takut jangan-jangan menerima akibat yang tidak baik dikemudian hari. Setelah Hama dan kawan-kawannya pulang, Patung itu oleh Pak Agus disandarkan di bawah pohon pisang.
Selang beberapa hari kemudian waktu Pak Agus ketempat itu ternyata Patung tersebut sudah tidak ada ditempat. Apakah diambil kembali oleh Hama ataukah diarnbil oleh orang lain, ataukah memang hilang kemana ? Pak Agus pun tidak tahu dan sampai sekarang Patung itupun tidak karuan dimana keberadaannya.
Hari berikutnya datang lagi pencari harta karun dari Sempolan Jember yang menggali tempat itu pada malam harinya. Demikian seterusnya semakin hari semakin banyak orang yang datang dan menggali diareal tempat tersebut sehingga keadaannya semakin tambah hancur dan berantakan.
Beberapa tahun kemudian setelah hutan Pinus itu ditutup kembali, ternyata Pak Agus melihat Patung itu lagi. Sedangkan pencari harta karunpun masih selalu saja datang silih berganti. Tetangga Pak Agus pun juga banyak yang membawa pulang batu-batu paras untuk dibuat tungku untuk memasak. Demikian pula teman-teman Pak Agus juga pernah membawa pulang 2 buah batu ukiran bersusun-susun untuk dibuat mainan karena bentuknya yang aneh dan indah. Sampai salah satunya ada yang patah ujungnya. Yang sampai kini patahan ujung batu ukiran itupun masih dan disimpan di rumah Pak Agus.
Sampai pada suatu hari datanglah rombongan dari Bali yang diantar oleh Pak Agus ketempat itu. Salah satunya adalah seorang Pemangku. Namun dari Bali daerah mana, Pak Agus pun tidak tahu. Rombongan tersebut mengadakan persembahyangan bersama ditempat itu.
Sejak saat itulah Pak Agus tahu dan percaya bahwa tempat itu bukanlah kuburan seperti dugaan Pak Agus selama itu, melainkan tempat itu adalah tempat sucinya orang Hindu atau Pura.
Sejak kedatangan rombongan dari Bali itulah Pak Agus langsung memberitahukan kepada teman-temannya bahwa batu-batu paras yang dibawa pulang itu adalah bukan miliknya melainkan milik tempat sucinya orang Hindu. Karena takut, seketika itu teman temannya langsung membongkar tungku-tungkunya yang terbuat dari batu-batu paras itu dan menaruhnya di belakang rumah. Sedangkan 2 buah batu ukiran bersusun-susun yang tadinya sering untuk mainan anak-anak itu langsung dibuang ke sungai di belakang rumah.
Waktu kedatangan rombongan dari Bali itu Patung tersebut sudah tidak ada. Seandainya Pak Agus Tahu kalau tempat itu adalah tempat suci, sudah barang tentu Patung itu akan disimpan oleh Pak Agus dan mungkin sampai sekarang Patung itu masih ada.
Tapi apa boleh buat karena pada waktu itu tidak ada orang yang peduli, maka tempat itu kini benar-benar menjadi hancur berantakan karena diacak-acak orang dan Patung itupun hilang tidak tahu kemana rimbanya". Demikian ceritera yang disampaikan oleh Pak Agus yang berhasil kami kumpulkan.
Waktu terus berjalan bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, tempat tersebut sudah tidak diketahui ceritanya lagi. Hutan pinus semakin lebat menjadi hutan rimba belantara. Pada suatu hari di tahun 1996 seorang pengembala kerbau bernama Mas Heri tiba-tiba menemukan tempat tersebut. Mas Heri sangat terkejut dan terheran-heran, mengapa di tengah hutan belantara ada batu-batu paras berukir namun keadaannya sudah berantakan dan penuh lubang-lubang bekas galian disekitarnya? Lama Mas Heri tertegun keheranan, setelah tersadar kemudian Mas Heri punya inisiatif untuk mengembalikan batu-batu paras tersebut ke lubang bekas galian, dan sebagaian dikumpulkan dan ditata agar tidak tampak berantakan.
Setelah menjelang sore dan waktunya untuk pulang, tiba-tiba kerbaunya Mas Heri sebanyak 6 ekor menghilang entah kemana rimbanya. Mas Heri menjadi kebingungan pikirannya kacau balau karena kerbaunya hilang, kemudian dia mencarinya kesana kemari keluar masuk hutan sampai menjelang malam, namun kerbaunya tidak diketemukan. Apa gara-gara saya mengganggu batu-batu paras tadi sehingga kerbau saya hilang? Demikian Mas Heri berkata-kata sendiri. Kemudian Mas Heri berjanji bila kerbaunya ditemukan kembali dia akan mengirim bunga di tempat tersebut. Dengan perasaan takut, capek, lelah, bingung dan putus asa akhirnya Mas Heri memutuskan untuk pulang kerumahnya dengan resiko sudah tentu akan dimarahi oleh orang tuanya. Setibanya di rumah Mas Heri melaporkan pada orang tuanya bahwa kerbaunya hilang di hutan dan tidak diketemukan. Mendengar laporan itu sontak ibunya Mas Heri memarahinya. Pada malam harinya ibu Mas Heri bermimpi ditemui oleh seorang perempuan, yang meminta dengan paksa pada ibu Mas Heri bahwa anaknya akan dibawa. Dalam mimpi itu ibu Mas Heri melarangnya dan terjadilah cekcok dengan perempuan itu. Saat terbangun, ibu Mas Heri langsung menanyai Mas Heri “Apa yang kamu lakukan di hutan kemarin pada saat mengembala kerbau?”. Mas Heri menceriterakan bahwa dirinya menemukan batu-batu paras yang telah berantakan di suatu tempat yang banyak lubang bekas galian dan mengembalikan batu-batu paras yang berantakan itu kedalam lubang-lubang bekas galian tersebut. Mendengar penjelasan itu akhirnya ibu Mas Heri menyuruhnya untuk lekas pergi ke tempat itu dengan membawa bunga layaknya orang nyekar di makam. Saat itu pula Mas Heri pergi dengan membawa bunga ke tempat batu-batu paras itu ditemukan. Sesampainya di tempat itu mas hari menghaturkan sajen berupa bunga tersebut dan berdoa kepada Tuhan dan penjaga tempat itu guna memohon maaf mungkin ada kesalahan karena mengembalikan batu-batu paras itu kedalam lubang-lubang bekas galian. Selesai berdoa tiba-tiba kerbau Mas Heri yang hilang kemarin ditemukan di tempat itu yang sedang pada tiduran dengan santainya. Mas Heri merasa senang dan bahagia karena kerbaunya dapat ditemukan kembali. Sejak saat itulah Mas Heri selalu merawat tempat itu dan pada hari-hari penting Mas Heri selalu datang membawa sajen dan bunga untuk nyekar di tempat itu. Hari selanjutnya Mas Heri melaporkan hasil penemuannya itu kepada pihak Parisada Hindu Dharma Indonesia Kecamatan Genteng Kabupaten Banyuwangi. Mendapat laporan itu, Pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia Kecamatan Genteng segera bertindak untuk melakukan infestigasi ke tempat yang ditunjukkan oleh Mas Heri. Setelah dilakukan infestigasi ternyata memang benar bahwa di tempat tersebut banyak terdapat batu-batu paras yang berantakan dan berserakan. Setelah diteliti di tempat tersebut ternyata ada sebuah Lingga yang disandarkan di pohon Pinus.
Akhirnya pengurus Parisada menyimpulkan bahwa tempat tersebut adalah merupakan bekas peninggalan tempat suci agama Hindu Siwa. Pengurus Parisada memutuskan untuk mengamankan Lingga tersebut ke Pura terdekat yaitu Pura Sandhya Dharma Dusun Selorejo Kecamatan Genteng. Akhirnya Lingga itu dibawa pulang dan distanakan di Pura itu sampai sekarang.
Kembali pada kisah perjalanan Tim Pencari Fakta.
Waktu menunjukkan Pkl. 15.25 WIB. Kami berpamitan pada Pak Agus dan berpesan agar 2 buah batu ukiran bersusun-susun itu dicari kembali sampai ketemu. Kami melanjutkan perjalanan menuju ke lokasi Petilasan yaitu tempat ditemukannya Patung waktu itu. Kini tempat itu tinggalah bongkahan-bongkahan batu paras yang keadaannya benar-benar sudah hancur berantakan. Kami berlima membersihkan tempat itu karena banyak sampah-sampah berserakan bekas upacara Ritual Siwa Puja pada hari Minggu Kliwon Tgl. 30 September 2007 yang baru lalu. Setelah itu kami berlima sembahyang bersama, kemudian merenung sedih, prihatin dan penuh perasaan menyesal, karena tempat itu kini benar-benar sudah hancur dan tinggalah puing-puing yang tidak berbentuk. Mungkinkah ini sudah menjadi kehendak alam ? Ataukah memang akibat dari kelalaian manusia-manusia yang sudah tidak mau peduli lagi terhadap leluhumya? Lama kami merenung, sampai tidak terasa air mata berlinang membasahi pipi. Oh Hyang Siwa.... semoga kami ditunjukkan ke jalan yang terang.
Inilah Reruntuhan Batu Paras bekas bangunan suci yang dikumpulkan oleh Umat Hindu, dan dipercaya bahwa tempat itu adalah merupakan bekas bangunan suci peninggalan Rsi Markandeya sebagai penyebar ajaran Hindu Siwa. Dengan bukti ditempat itu banyak ditemukan Lingga yang kini distanakan di Pura Sandhya Dharma Dusun Selorejo dan satu buah Lingga serta beberapa batu ukiran sampai saat ini masih diamankan di rumah Hadi Supoyo Dsn. Sumberjo Ds. Jambewangi Kec. Sempu.
Pukul 17.00 rombongan kami sepakat untuk pulang kerumah. Walau badan terasa lelah, capek dan loyo, kami tetap semangat berjalan kaki menelusuri hutan Pinus, menuruni lembah, menyeberangi sungai, mendaki bukit untuk menuju kekampung halaman.
Sekitar Pkl. 18.00 kami tiba kembali di Dusun Sidomulyo kemudian istirahat di rumah Misikan yang ayahnya adalah seorang Pemangku Pura Luhur Rsi Markandeya Dusun Sidomulyo. Sambil menikmati secangkir kopi kami tidak henti-hentinya berceritera mengenang kisah perjalanan tadi. Walaupun badan sudah lelah dan capek seakan tidak terasa, karena kami merasa bangga bahwa perjalanan kami tadi benar-benar penuh makna dan banyak pengalaman yang takkan terlupakan. Akhirnya kami pulang kerumah masing-masing sambil membawa kenangan indah yang terpateri dalam hati sanubari kami.
Tulisan ini kami edit kembali dengan maksut semoga dapat menggugah hati para pembaca untuk ikut berperan aktif melestarikan warisan leluhur yang adiluhung dan suci. Semoga.
Om Santih santih santih Om.
Pukul 17.00 rombongan kami sepakat untuk pulang kerumah. Walau badan terasa lelah, capek dan loyo, kami tetap semangat berjalan kaki menelusuri hutan Pinus, menuruni lembah, menyeberangi sungai, mendaki bukit untuk menuju kekampung halaman.
Sekitar Pkl. 18.00 kami tiba kembali di Dusun Sidomulyo kemudian istirahat di rumah Misikan yang ayahnya adalah seorang Pemangku Pura Luhur Rsi Markandeya Dusun Sidomulyo. Sambil menikmati secangkir kopi kami tidak henti-hentinya berceritera mengenang kisah perjalanan tadi. Walaupun badan sudah lelah dan capek seakan tidak terasa, karena kami merasa bangga bahwa perjalanan kami tadi benar-benar penuh makna dan banyak pengalaman yang takkan terlupakan. Akhirnya kami pulang kerumah masing-masing sambil membawa kenangan indah yang terpateri dalam hati sanubari kami.
Tulisan ini kami edit kembali dengan maksut semoga dapat menggugah hati para pembaca untuk ikut berperan aktif melestarikan warisan leluhur yang adiluhung dan suci. Semoga.
Om Santih santih santih Om.
Sempu, 16 Oktober 2007
Penulis
ttd
MAS TEDJO, S. Ag
ttd
MAS TEDJO, S. Ag
Ditulis kembali oleh : Mas Tedjo. S. Ag
Tanggal 1 Januari 2012.
katijo.sag59@ymail.com
Tanggal 1 Januari 2012.
katijo.sag59@ymail.com
INILAH BEBERAPA GAMBAR KETIKA TIM PENCARI FAKTA SEDANG MENGGALI BUKTI-BUKTI PENINGGALAN RSI MARKANDEYA DI GUNUNG RAUNG
Salah satu Sumber Tirta Watupecah setelah dibersihkan
Barang-barang kuno yang ditemukan oleh penduduk setempat
DOKUMENTASI TIM PENCARI FAKTA
DENAH LOKASI SITUS SIWA LINGGA GUMUK PAYUNG
DI GUNUNG RAUNG R.P.H SIDOMULYO
DESA JAMBEWANGI KECAMATAN SEMPU KABUPATEN BANYUWANGI
JAWA TIMUR
HUBUNGI : MAS TEDJO, S. Ag
HP. 085230543312