Setelah kami mengambil gambar, kami berpamitan kepada Mbah Sabar dengan berpesan agar benda tersebut disimpan baik–baik jangan sampai dijual dan tak lupa kami juga mengucapkan terima kasih atas semua keterangan yang diberikan oleh Mbah Sabar.
Waktu menunjukkan Pkl. 12.25, rombongan kami kembali menuruni bukit untuk mencari jejak-jejak peninggalan yang lain. Menurut penuturan salah seorang penyadap getah Pinus pernah melihat suatu tempat yang banyak ditumbuhi pohon Andong Puring yang dipercaya bahwa tempat itu adalah bekas pemukiman orang pada jaman dahulu. Kami berlima sepakat untuk mencari tempat tersebut. Akhirnya kamipun kembali masuk hutan menyibak semak belukar dan hutan pakis untuk mencari tempat tersebut. Setelah beberapa lama mencari ternyata tempat tersebut tidak dapat kami temukan. Karena capek dan lelah, kami keluar dari hutan dan istirahat dipinggir jalan setapak di bawah pohon yang rindang sambil membuka bekal seadanya yang sempat kami bawa.
Selesai istirahat waktu itu menunjukkan Pkl. 13.15 WIB. Rombongan kami melanjutkan perjalanan kembali menuruni bukit melalui jalan setapak dibawah terik sinar matahari yang menyengat kulit. Kurang lebih satu jam kami menempuh perjalanan yang cukup melelahkan.
Akhirnya kami sampailah di hutan Tlocor pada Pkl. 14.15 WIB. Saat itu Pak Agus yang akan kami temui sedang duduk santai di teras rumahnya. Rupanya Pak Agus baru saja pulang dari kerja memungut getah Pinus. Kami saling menyapa dan berjabat tangan, kemudian istirahat –
bersama di teras rumah Pak Agus. Sambil menikmati teh hangat yang dihidangkan oleh istri Pak Agus, kamipun mulai minta penjelasan tentang hal ikhwal penemuan patung seperti yang disampaikan oleh Pak Agus beberapa hari yang lalu. Pak Agus memulai ceriteranya antara lain demikian :
“Waktu itu sekitar tahun seribu sembilan ratus delapan puluhan, ketika Pak Agus dan kawan-kawannya menebang hutan Pinus yang pertama kali. Sebelum ditanami pohon Pinus, hutan tersebut adalah hutan belantara yang banyak ditumbuhi pohon bambu. Pada saat Pak Agus menebang pohon Pinus, begitu pohon yang ditebang itu roboh, rantingnya menimpa benda aneh yang belum pernah dilihat oleh Pak Agus. Setelah didekati dan diamati ternyata benda itu adalah sebuah Patung batu yang duduk bersila diatas tempat duduk yang terbuat dari batu, kedua tangan bersidakep, rambut disanggul di atas layaknya seorang pendeta. Patung tersebut menghadap ke Timur yang diapit dua buah batu ukiran bersusun-susun disebelah kanan dan kirinya kurang lebih setinggi 70 cm. Seketika itu Pak Agus terkejut dan takut karena dikira tempat itu adalah kuburan kuno ( makam orang pada jaman dahulu ). Karena takut akan terjadi sesuatu terhadap dirinya, maka Pak Agus segera membersihkan tempat itu kemudian memagarinya dengan ranting-ranting pohon Pinus.
Sampai siang hari pikiran Pak Agus tidak bisa tenang, rasa laparpun hilang karena pikirannya was-was dan takut jangan-jangan terjadi sesuatu yang akan menimpa dirinya akibat pohon Pinus yang ditebangnya itu roboh menimpa kuburan tersebut. Saat itu juga dia lansung menceriterakan kejadian itu kepada temannya. Begitu mendengar ceritera dari Pak Agus, temannya jadi penasaran ingin tahu kuburan tersebut. Setelah mencarinya kesana kemari ternyata teman Pak Agus itu tidak menemukan apa-apa. Akhirnya dia kembali lagi pada Pak Agus agar diantar dan ditunjukkan tempat tersebut. Setelah ditunjukkan oleh Pak Agus barulah temannya itu dapat melihat dengan jelas kuburan tersebut, padahal dari tadi dia sudah berputar-putar mencari ditempat itu juga, namun tidak tahu. “Aneh, memang sungguh aneh”. Demikian kata teman Pak Agus.
Selang beberapa hari kemudian datanglah seseorang yang bernama Hama dari Dusun Gunungsari. Katanya dia pernah mendengar berita bahwa ada penemuan kuburan ditengah hutan Pinus. Untuk itu dia datang menemui Pak Agus agar diantar dan ditunjukkan ketempat kuburan dimaksut. Pada hari itu juga oleh Pak Agus orang tersebut diantar dan ditunjukkan ke tempat tersebut.
Pada malam harinya waktu Pak Agus sedang berburu binatang, tiba-tiba melihat cahaya terang ditempat itu. Karena penasaran ingin tahu, akhirnya Pak Agus mendekati tempat tersebut. Setelah sampai disitu ternyata Hama dan kawan-kawannya sudah menggali dan membongkar kuburan tersebut. Melihat kejadian ini Pak Agus tidak jadi berburu binatang, melainkan menunggui Hama dan kawan-kawannya yang sedang menggali tempat tesebut. Pada saat penggalian, patung tersebut dipindahkan oleh Hama, kemudian di bawahnya digali sampai kedalaman kurang lebih 2 meter. Saat itu Pak Agus melihat tatanan batu paras yang tersusun rapi seperti tembok. Namun akhirnya dibongkar oleh Hama dan kawan-kawannya dan dinaikkan ke atas sehingga banyak batu parasnya yang rusak dan patah. Sambil menunggui Hama dan kawan-kawannya membongkar tempat tersebut, Pak Agus selalu memperhatikan dan memandangi Patung itu. Ada perasaan aneh dan sepertinya ada kekuatan gaib pada patung itu. Patung itu terbuat dari batu yang keras dan bersinar gemerlapan ketika tertimpa cahaya lampu petromak. Pak Agus tidak henti-hentinya memandangi Patung itu. Cahaya gemerlapan itu seperti hidup dan bergerak naik turun. Sungguh-sungguh menyenangkan dan memikat perasaan. Pak Agus benar-benar merasa sangat senang dengan patung itu. Tapi Pak Agus takut untuk mengambilnya.
Selanjutnya dalam penggalian itu Hama dan kawan-kawannya menemukan 2 buah emas batangan sebesar korek api gas. Dari situlah Pak Agus baru tahu bahwa Hama itu adalah pencari barang antik atau pencari harta karun. Setelah pagi hari penggalian itu baru dihentikan. Selanjutnya Pak Agus menyuruh Hama dan kawan-kawannya agar mengembalikan batu-batu paras yang dibongkar itu. Dan pada saat itu batu-batu paras tersebut hanya dilempar-lempar begitu saja kedalam lubang galian tersebut tanpa ditimbun kembali. Kemudian Hama memegang Patung itu lalu mengocak-ngocaknya.
Patung tersebut didalamnya seperti berlobang dan berisi sesuatu. " Waduh ! di dalam ini berisi apa ya ? " Demikian kata Hama. Namun oleh Pak Agus dilarang agar Patung itu tidak dibawa pulang oleh Hama. Sebelum Hama dan kawan-kawannya itu pulang, Pak Agus diberi uang oleh Hama. Namun Pak Agus tidak mau menerima dan bahkan menolaknya karena Pak Agus takut jangan-jangan menerima akibat yang tidak baik dikemudian hari. Setelah Hama dan kawan-kawannya pulang, Patung itu oleh Pak Agus disandarkan di bawah pohon pisang.
Selang beberapa hari kemudian waktu Pak Agus ketempat itu ternyata Patung tersebut sudah tidak ada ditempat. Apakah diambil kembali oleh Hama ataukah diarnbil oleh orang lain, ataukah memang hilang kemana ? Pak Agus pun tidak tahu dan sampai sekarang Patung itupun tidak karuan dimana keberadaannya.
Hari berikutnya datang lagi pencari harta karun dari Sempolan Jember yang menggali tempat itu pada malam harinya. Demikian seterusnya semakin hari semakin banyak orang yang datang dan menggali diareal tempat tersebut sehingga keadaannya semakin tambah hancur dan berantakan.
Beberapa tahun kemudian setelah hutan Pinus itu ditutup kembali, ternyata Pak Agus melihat Patung itu lagi. Sedangkan pencari harta karunpun masih selalu saja datang silih berganti. Tetangga Pak Agus pun juga banyak yang membawa pulang batu-batu paras untuk dibuat tungku untuk memasak. Demikian pula teman-teman Pak Agus juga pernah membawa pulang 2 buah batu ukiran bersusun-susun untuk dibuat mainan karena bentuknya yang aneh dan indah. Sampai salah satunya ada yang patah ujungnya. Yang sampai kini patahan ujung batu ukiran itupun masih dan disimpan di rumah Pak Agus.
Sampai pada suatu hari datanglah rombongan dari Bali yang diantar oleh Pak Agus ketempat itu. Salah satunya adalah seorang Pemangku. Namun dari Bali daerah mana, Pak Agus pun tidak tahu. Rombongan tersebut mengadakan persembahyangan bersama ditempat itu.
Sejak saat itulah Pak Agus tahu dan percaya bahwa tempat itu bukanlah kuburan seperti dugaan Pak Agus selama itu, melainkan tempat itu adalah tempat sucinya orang Hindu atau Pura.
Sejak kedatangan rombongan dari Bali itulah Pak Agus langsung memberitahukan kepada teman-temannya bahwa batu-batu paras yang dibawa pulang itu adalah bukan miliknya melainkan milik tempat sucinya orang Hindu. Karena takut, seketika itu teman temannya langsung membongkar tungku-tungkunya yang terbuat dari batu-batu paras itu dan menaruhnya di belakang rumah. Sedangkan 2 buah batu ukiran bersusun-susun yang tadinya sering untuk mainan anak-anak itu langsung dibuang ke sungai di belakang rumah.
Waktu kedatangan rombongan dari Bali itu Patung tersebut sudah tidak ada. Seandainya Pak Agus Tahu kalau tempat itu adalah tempat suci, sudah barang tentu Patung itu akan disimpan oleh Pak Agus dan mungkin sampai sekarang Patung itu masih ada.
Tapi apa boleh buat karena pada waktu itu tidak ada orang yang peduli, maka tempat itu kini benar-benar menjadi hancur berantakan karena diacak-acak orang dan Patung itupun hilang tidak tahu kemana rimbanya". Demikian ceritera yang disampaikan oleh Pak Agus yang berhasil kami kumpulkan.
Waktu terus berjalan bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, tempat tersebut sudah tidak diketahui ceritanya lagi. Hutan pinus semakin lebat menjadi hutan rimba belantara. Pada suatu hari di tahun 1996 seorang pengembala kerbau bernama Mas Heri tiba-tiba menemukan tempat tersebut. Mas Heri sangat terkejut dan terheran-heran, mengapa di tengah hutan belantara ada batu-batu paras berukir namun keadaannya sudah berantakan dan penuh lubang-lubang bekas galian disekitarnya? Lama Mas Heri tertegun keheranan, setelah tersadar kemudian Mas Heri punya inisiatif untuk mengembalikan batu-batu paras tersebut ke lubang bekas galian, dan sebagaian dikumpulkan dan ditata agar tidak tampak berantakan.
Setelah menjelang sore dan waktunya untuk pulang, tiba-tiba kerbaunya Mas Heri sebanyak 6 ekor menghilang entah kemana rimbanya. Mas Heri menjadi kebingungan pikirannya kacau balau karena kerbaunya hilang, kemudian dia mencarinya kesana kemari keluar masuk hutan sampai menjelang malam, namun kerbaunya tidak diketemukan. Apa gara-gara saya mengganggu batu-batu paras tadi sehingga kerbau saya hilang? Demikian Mas Heri berkata-kata sendiri. Kemudian Mas Heri berjanji bila kerbaunya ditemukan kembali dia akan mengirim bunga di tempat tersebut. Dengan perasaan takut, capek, lelah, bingung dan putus asa akhirnya Mas Heri memutuskan untuk pulang kerumahnya dengan resiko sudah tentu akan dimarahi oleh orang tuanya. Setibanya di rumah Mas Heri melaporkan pada orang tuanya bahwa kerbaunya hilang di hutan dan tidak diketemukan. Mendengar laporan itu sontak ibunya Mas Heri memarahinya. Pada malam harinya ibu Mas Heri bermimpi ditemui oleh seorang perempuan, yang meminta dengan paksa pada ibu Mas Heri bahwa anaknya akan dibawa. Dalam mimpi itu ibu Mas Heri melarangnya dan terjadilah cekcok dengan perempuan itu. Saat terbangun, ibu Mas Heri langsung menanyai Mas Heri “Apa yang kamu lakukan di hutan kemarin pada saat mengembala kerbau?”. Mas Heri menceriterakan bahwa dirinya menemukan batu-batu paras yang telah berantakan di suatu tempat yang banyak lubang bekas galian dan mengembalikan batu-batu paras yang berantakan itu kedalam lubang-lubang bekas galian tersebut. Mendengar penjelasan itu akhirnya ibu Mas Heri menyuruhnya untuk lekas pergi ke tempat itu dengan membawa bunga layaknya orang nyekar di makam. Saat itu pula Mas Heri pergi dengan membawa bunga ke tempat batu-batu paras itu ditemukan. Sesampainya di tempat itu mas hari menghaturkan sajen berupa bunga tersebut dan berdoa kepada Tuhan dan penjaga tempat itu guna memohon maaf mungkin ada kesalahan karena mengembalikan batu-batu paras itu kedalam lubang-lubang bekas galian. Selesai berdoa tiba-tiba kerbau Mas Heri yang hilang kemarin ditemukan di tempat itu yang sedang pada tiduran dengan santainya. Mas Heri merasa senang dan bahagia karena kerbaunya dapat ditemukan kembali. Sejak saat itulah Mas Heri selalu merawat tempat itu dan pada hari-hari penting Mas Heri selalu datang membawa sajen dan bunga untuk nyekar di tempat itu. Hari selanjutnya Mas Heri melaporkan hasil penemuannya itu kepada pihak Parisada Hindu Dharma Indonesia Kecamatan Genteng Kabupaten Banyuwangi. Mendapat laporan itu, Pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia Kecamatan Genteng segera bertindak untuk melakukan infestigasi ke tempat yang ditunjukkan oleh Mas Heri. Setelah dilakukan infestigasi ternyata memang benar bahwa di tempat tersebut banyak terdapat batu-batu paras yang berantakan dan berserakan. Setelah diteliti di tempat tersebut ternyata ada sebuah Lingga yang disandarkan di pohon Pinus.
Akhirnya pengurus Parisada menyimpulkan bahwa tempat tersebut adalah merupakan bekas peninggalan tempat suci agama Hindu Siwa. Pengurus Parisada memutuskan untuk mengamankan Lingga tersebut ke Pura terdekat yaitu Pura Sandhya Dharma Dusun Selorejo Kecamatan Genteng. Akhirnya Lingga itu dibawa pulang dan distanakan di Pura itu sampai sekarang.
Kembali pada kisah perjalanan Tim Pencari Fakta.
Waktu menunjukkan Pkl. 15.25 WIB. Kami berpamitan pada Pak Agus dan berpesan agar 2 buah batu ukiran bersusun-susun itu dicari kembali sampai ketemu. Kami melanjutkan perjalanan menuju ke lokasi Petilasan yaitu tempat ditemukannya Patung waktu itu. Kini tempat itu tinggalah bongkahan-bongkahan batu paras yang keadaannya benar-benar sudah hancur berantakan. Kami berlima membersihkan tempat itu karena banyak sampah-sampah berserakan bekas upacara Ritual Siwa Puja pada hari Minggu Kliwon Tgl. 30 September 2007 yang baru lalu. Setelah itu kami berlima sembahyang bersama, kemudian merenung sedih, prihatin dan penuh perasaan menyesal, karena tempat itu kini benar-benar sudah hancur dan tinggalah puing-puing yang tidak berbentuk. Mungkinkah ini sudah menjadi kehendak alam ? Ataukah memang akibat dari kelalaian manusia-manusia yang sudah tidak mau peduli lagi terhadap leluhumya? Lama kami merenung, sampai tidak terasa air mata berlinang membasahi pipi. Oh Hyang Siwa.... semoga kami ditunjukkan ke jalan yang terang.
Inilah Reruntuhan Batu Paras bekas bangunan suci yang dikumpulkan oleh Umat Hindu, dan dipercaya bahwa tempat itu adalah merupakan bekas bangunan suci peninggalan Rsi Markandeya sebagai penyebar ajaran Hindu Siwa. Dengan bukti ditempat itu banyak ditemukan Lingga yang kini distanakan di Pura Sandhya Dharma Dusun Selorejo dan satu buah Lingga serta beberapa batu ukiran sampai saat ini masih diamankan di rumah Hadi Supoyo Dsn. Sumberjo Ds. Jambewangi Kec. Sempu.
Pukul 17.00 rombongan kami sepakat untuk pulang kerumah. Walau badan terasa lelah, capek dan loyo, kami tetap semangat berjalan kaki menelusuri hutan Pinus, menuruni lembah, menyeberangi sungai, mendaki bukit untuk menuju kekampung halaman.
Sekitar Pkl. 18.00 kami tiba kembali di Dusun Sidomulyo kemudian istirahat di rumah Misikan yang ayahnya adalah seorang Pemangku Pura Luhur Rsi Markandeya Dusun Sidomulyo. Sambil menikmati secangkir kopi kami tidak henti-hentinya berceritera mengenang kisah perjalanan tadi. Walaupun badan sudah lelah dan capek seakan tidak terasa, karena kami merasa bangga bahwa perjalanan kami tadi benar-benar penuh makna dan banyak pengalaman yang takkan terlupakan. Akhirnya kami pulang kerumah masing-masing sambil membawa kenangan indah yang terpateri dalam hati sanubari kami.
Tulisan ini kami edit kembali dengan maksut semoga dapat menggugah hati para pembaca untuk ikut berperan aktif melestarikan warisan leluhur yang adiluhung dan suci. Semoga.
Om Santih santih santih Om.
Sempu, 16 Oktober 2007
Penulis
ttd
MAS TEDJO, S. Ag
Ditulis kembali oleh : Mas Tedjo. S. Ag
Tanggal 1 Januari 2012.
katijo.sag59@ymail.com
INILAH BEBERAPA GAMBAR KETIKA TIM PENCARI FAKTA SEDANG MENGGALI BUKTI-BUKTI PENINGGALAN RSI MARKANDEYA DI GUNUNG RAUNG
Salah satu Sumber Tirta Watupecah setelah dibersihkan
Barang-barang kuno yang ditemukan oleh penduduk setempat
DOKUMENTASI TIM PENCARI FAKTA
DENAH LOKASI SITUS SIWA LINGGA GUMUK PAYUNG
DI GUNUNG RAUNG R.P.H SIDOMULYO
DESA JAMBEWANGI KECAMATAN SEMPU KABUPATEN BANYUWANGI
JAWA TIMUR
HUBUNGI : MAS TEDJO, S. Ag
HP. 085230543312